UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1992
NOMOR 7 TAHUN 1992
TENTANG
PERBANKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
|
:
|
a.
|
bahwa untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan
pembangungan nasional guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, pelaksanaan
pembangunan ekonomi yang berasaskan kekeluargaan harus lebih memperhatikan
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan unsur-unsur Trilogi Pembangunan;
|
|||
|
|
b.
|
bahwa perbankan yang berasaskan demokrasi ekonomi
dengan fungsi utamanya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat,
memiliki peranan yang strategis untuk menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional, dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional, ke arah
peningkatan taraf hidup rakyat banyak;
|
|||
|
|
c.
|
bahwa perkembangan perekonomian nasional maupun
internasional yang senantiasa bergerak cepat disertai dengan
tantangan-tantangan yang semakin luas, harus selalu diikuti secara tanggap
oleh perbankan nasional dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya
kepada masyarakat;
|
|||
|
|
d.
|
bahwa Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang
Pokok-pokok Perbankan dan beberapa Undang-undang di bidang perbankan
lainnnya yang berlaku sampai saat ini, sudah tidak dapat mengikuti
perkembangan perekonomian nasional maupun internasional;
|
|||
|
|
e.
|
bahwa untuk mencapai maksud di atas, perlu disusun
Undang-undang baru tentang Perbankan;
|
|||
Mengingat
|
:
|
1.
|
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945;
|
|||
|
|
2.
|
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang
Perusahaan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 10, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2387);
|
|||
|
|
3.
|
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang
Pokok-pokok Perkoperasian (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 23, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2832);
|
|||
|
|
4.
|
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank
Sentral (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2865);
|
|||
|
|
5.
|
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang
Bentuk-bentuk Usaha Negara (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 16, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2890) menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun
1969 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2904);
|
|||
|
|
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA |
||||
|
|
MEMUTUSKAN :
|
||||
Menetapkan
|
:
|
UNDANG-UNDANG TENTANG PERBANKAN.
|
||||
|
BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1 |
|||||
|
|
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
|
||||
|
|
1.
|
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak;
|
|||
|
|
2.
|
Bank Umum adalah bank yang dapat memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran;
|
|||
|
|
3.
|
Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang menerima
simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu;
|
|||
|
|
4.
|
Bank Campuran adalah Bank Umum yang didirikan
bersama oleh satu atau lebih Bank Umum yang berkedudukan di Indonesia dan
didirikan oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang
dimiliki sepenuhnya oleh warga negara Indonesia, dengan satu atau lebih bank
yang berkedudukan di luar negeri;
|
|||
|
|
5.
|
Kantor Cabang adalah setiap kantor bank yang
secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat bank yang bersangkutan,
dengan tempat usaha yang permanen dimana kantor cabang tersebut melakukan
kegiatannya;
|
|||
|
|
6.
|
simpanan adalah dana yang dipercayakart oleh
masyarakat kepada bank dalam bentuk giro, deposito berjangka, sertifikat
deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
|
|||
|
|
7.
|
Giro adalah simpanan yang dapat digunakan sebagai
alat pembayaran dan penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan
menggunakan cek sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan cara
pemindahbukuan;
|
|||
|
|
8.
|
Deposito berjangka adalah simpanan yang
penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian
antara penyimpan dengan bank yang bersangkutan;
|
|||
|
|
9.
|
sertifikat Deposito adalah deposito berjangka yang
bukti simpanannya dapat diperdagangkan;
|
|||
|
|
10.
|
Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya
dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat
ditarik dengan cek atau alat yang dapat dipersamakan dengan itu;
|
|||
|
|
11.
|
Surat Berharga adalah surat pengakuan hutang,
wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatif dari surat
berharga atau kepentingan lain atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam
bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang;
|
|||
|
|
12.
|
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga,
imbalan atau pembagian hasil keuntungan;
|
|||
|
|
13.
|
Penitipan adalah penyimpanan harta berdasarkan
kontrak antara Bank Umum dengan penitip yang didalamnya ditentukan bahwa
Bank Umum yang bersangkutan melakukan penyimpanan harta tanpa mempunyai hak
kepemilikan atas harta tersebut;
|
|||
|
|
14.
|
Wali Amanat adalah Bank Umum, yang berdasarkan
suatu perjanjian antara Bank Umum tersebut dengan emiten surat berharga,
ditunjuk untuk mewakili kepentingan semua pemegang surat berharga tersebut;
|
|||
|
|
15.
|
Pihak Terafiliasi adalah :
|
|||
|
|
|
a.
|
anggota dewan komisaris atau pengawas, direksi,
pejabat, atau karyawan bank;
|
||
|
|
|
b.
|
anggota pengurus, badan pemeriksa, direksi,
pejabat, atau karyawan bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
|
||
|
|
|
c.
|
pihak yang memberikan jasanya kepada bank yang
bersangkutan, termasuk konsultan, konsultan hukum, akuntan publik, penilai;
|
||
|
|
|
d.
|
pihak yang berdasarkan ketentuan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan bank;
|
||
|
|
16.
|
Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut
kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan;
|
|||
|
|
17.
|
Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang berlaku;
|
|||
|
|
18.
|
Dewan Moneter adalah dewan moneter sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang yang berlaku;
|
|||
|
|
19.
|
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik
Indonesia;
|
|||
|
|
20.
|
Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia.
|
|||
|
BAB II
ASAS, FUNGSI, DAN TUJUAN Pasal 2 |
|||||
|
|
Perbankan Indonesia dalam
melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip
kehati-hatian.
|
||||
|
Pasal 3
|
|||||
|
|
Fungsi utama perbankan
Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.
|
||||
|
Pasal 4
|
|||||
|
|
Perbankan Indonesia bertujuan
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan
pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak.
|
||||
|
BAB III
JENIS DAN USAHA BANK Bagian Pertama Jenis Bank Pasal 5 |
|||||
|
|
(1)
|
Menurut jenisnya, bank terdiri dari :
|
|||
|
|
|
a.
|
Bank Umum;
|
||
|
|
|
b.
|
Bank Perkreditan Rakyat.
|
||
|
|
(2)
|
Bank Umum dapat mengkhususkan diri untuk
melaksanakan kegiatan tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar
kepada kegiatan tertentu.
|
|||
|
Bagian
Kedua
Usaha Bank Umum Pasal 6 |
|||||
|
|
Usaha Bank Umum meliputi :
|
||||
|
|
a.
|
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
|
|||
|
|
b.
|
memberikan kredit;
|
|||
|
|
c.
|
menerbitkan surat pengakuan hutang;
|
|||
|
|
d.
|
membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri
maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya :
|
|||
|
|
|
1.
|
surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi
oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam
perdagangan surat-surat dimaksud;
|
||
|
|
|
2.
|
surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya
yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan
surat-surat dimaksud;
|
||
|
|
|
3.
|
kertas perbendaharaaa negara dan surat jaminan
pemerintah;
|
||
|
|
|
4.
|
Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
|
||
|
|
|
5.
|
obligasi;
|
||
|
|
|
6.
|
surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu)
tahun;
|
||
|
|
|
7.
|
instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu
sampai dengan 1 (satu) tahun;
|
||
|
|
e.
|
memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri
maupun untuk kepentingan nasabah;
|
|||
|
|
f.
|
menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau
meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana
telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;
|
|||
|
|
g.
|
menerima pembayaran dari tagihan atas surat
berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;
|
|||
|
|
h.
|
menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan
surat berharga;
|
|||
|
|
i.
|
melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan
pihak lain berdasarkan suatu kontrak;
|
|||
|
|
j.
|
melakukan penempatan dana dari
nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak
tercatat di bursa efek;
|
|||
|
|
k.
|
membeli melalui pelelangan agunan baik semua
maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank,
dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya;
|
|||
|
|
l.
|
melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu
kredit dan kegiatan wali amanat;
|
|||
|
|
m.
|
menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan
prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah;
|
|||
|
|
n.
|
melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh
bank sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
|
|||
|
Pasal 7
|
|||||
|
|
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Bank Umum dapat pula :
|
||||
|
|
a.
|
melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan
memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
|
|||
|
|
b.
|
melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau
perusahaan lain di bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura,
perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan
penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
|
|||
|
|
c.
|
melakukan kegiatan penyertaan modal sementara
untuk mengatasi akibat kegagalan kredit, dengan syarat harus menarik
kembali penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia; dan
|
|||
|
|
d.
|
bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan
pengurus dana pensiun sesuai dengan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.
|
|||
|
Pasal 8
|
|||||
|
|
Dalam memberikan kredit, Bank
Umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk
melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.
|
||||
|
Pasal 9
|
|||||
|
|
(1)
|
Bank Umum yang menyelenggarakan kegiatan penitipan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf i, bertanggung jawab untuk
menyimpan harta milik penitip, dan memenuhi kewajiban lain sesuai dengan
kontrak.
|
|||
|
|
(2)
|
Harta yang dititjpkan wajib dibukukan dan dicatat
secara tersendiri.
|
|||
|
|
(3)
|
Dalam hal bank mengalami kepailitan, semua harta
yang dititipkan pada bank tersebut tidak dimasukkan dalam harta kepailitan
dan wajib dikembalikan kepada penitip yang bersangkutan.
|
|||
|
Pasal 10
|
|||||
|
|
Bank Umum dilarang :
|
||||
|
|
a.
|
melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dan huruf c;
|
|||
|
|
b.
|
melakukan usaha perasuransian;
|
|||
|
|
c.
|
melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7.
|
|||
|
Pasal 11
|
|||||
|
|
(1)
|
Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas
maksimum pemberian kredit, pemberian jaminan, penempatan investasi surat
berharga, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada
peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada
perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.
|
|||
|
|
(2)
|
Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh perseratus) dari modal bank yang sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
|
|||
|
|
(3)
|
Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas
maksimum pemberian kredit, pemberian jaminan, penempatan investasi surat
berharga, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada :
|
|||
|
|
|
a.
|
pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh
perseratus) atau lebih dari modal disetor bank;
|
||
|
|
|
b.
|
anggota dewan komisaris;
|
||
|
|
|
c.
|
anggota direksi;
|
||
|
|
|
d.
|
keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b dan huruf c; dan
|
||
|
|
|
e.
|
pejabat bank lainnya; serta
|
||
|
|
|
f.
|
perusahaan-perusahaan yang didalamnya terdapat
kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf e.
|
||
|
|
(4)
|
Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
tidak boleh melebihi 10% (sepuluh perseratus) dari modal bank yang sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
|
|||
|
|
(5)
|
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (3) wajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
|
|||
|
Pasal 12
|
|||||
|
|
Pemerintah dapat menugaskan
Bank Umum untuk melaksanakan program pemerintah guna mengembangkan
sektor-sektor perekonomian tertentu, atau memberikan perhatian yang lebih
besar pada koperasi dan pengusaha golongan ekonomi lemah/pengusaha kecil
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, berdasarkan ketentuan
yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
||||
|
Bagian
Ketiga
Usaha Bank Perkreditan Rakyat Pasal 13 |
|||||
|
|
Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi :
|
||||
|
|
a.
|
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu;
|
|||
|
|
b.
|
memberikan kredit;
|
|||
|
|
c.
|
menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan
prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah;
|
|||
|
|
d.
|
menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank
Indonesia (SBI deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan
pada bank lain.
|
|||
|
Pasal 14
|
|||||
|
|
Bank Perkreditan Rakyat dilarang :
|
||||
|
|
a.
|
menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam
lalu lintas pembayaran;
|
|||
|
|
b.
|
melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing;
|
|||
|
|
c.
|
melakukan penyertaan modal;
|
|||
|
|
d.
|
melakukan usaha perasuransian;
|
|||
|
|
e.
|
melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
|
|||
|
Pasal 15
|
|||||
|
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 dan Pasal 11 berlaku juga bagi Bank Perkreditan Rakyat.
|
||||
|
BAB IV
PERIZINAN, BENTUK HUKUM DAN KEPEMILIKAN Bagian Pertama Perizinan
Pasal
16
|
|||||
|
|
(1)
|
Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka,
sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu, wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum
atau Bank Perkreditan Rakyat dari Menteri, kecuali apabila kegiatan
menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan Undang-undang
tersendiri.
|
|||
|
|
(2)
|
Izin usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat
diberikan oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
|
|||
|
|
(3)
|
Untuk mendapatkan izin usaha Bank Umum dan Bank
Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib dipenuhi
persyaratan tentang :
|
|||
|
|
|
a.
|
susunan organisasi;
|
||
|
|
|
b.
|
permodalan;
|
||
|
|
|
c.
|
kepemilikan;
|
||
|
|
|
d.
|
keahlian di bidang perbankan;
|
||
|
|
|
e.
|
kelayakan rencana kerja; dan
|
||
|
|
|
f.
|
hal-hal lain yang ditetapkan
oleh Menteri, setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
|
||
|
|
(4)
|
Untuk mendapatkan izin usaha Bank Perkreditan
Rakyat, di samping memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3), wajib dipenuhi pula persyaratan tentang tempat kedudukan kantor pusat
Bank Perkreditan Rakyat di kecamatan.
|
|||
|
|
(5)
|
Tanga mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4), dengan memenuhi ketentuan yang diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah, Bank Perkreditan Rakyat dapat didirikan di ibukota
kabupaten atau kotamadya, sepanjang di ibukota kabupaten atau kotamadya
dimaksud belum terdapat Bank Perkreditan Rakyat.
|
|||
|
|
(6)
|
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3),
ayat (4), ayat (5), dan tata cara perizinannya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
|
|||
|
Pasal 17
|
|||||
|
|
Untuk mendapatkan izin usaha sebagai Bank Umum
yang berbentuk bank campuran, wajib dipenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) dan ayat (6), serta ketentuan yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, yang mengatur :
|
||||
|
|
a.
|
jumlah kepemilikan dan kepengurusan pihak asing
yang diizinkan;
|
|||
|
|
b.
|
pihak-pihak yang diizinkan bekerja sama;
|
|||
|
|
c.
|
hal-hal lain yang menurut Dewan Moneter perlu
diatur untuk kepentingan pembangunan nasional.
|
|||
|
Pasal 18
|
|||||
|
|
(1)
|
Pembukaan kantor cabang Bank Umum hanya dapat
dilakukan dengan izin Menteri, setelah mendengar pertimbangan Bank
Indonesia.
|
|||
|
|
(2)
|
Pembukaan kantor cabang dan perwakilan Bank Umum
di luar negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Menteri, setelah mendengar
pertimbangan Bank Indonesia.
|
|||
|
|
(3)
|
Pembukaan kantor di bawah kantor cabang Bank Umum
wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
|
|||
|
|
(4)
|
Persyaratan dan tata cara
pembukaan kantor-kantor Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan
Bank Indonesia.
|
|||
|
Pasal 19
|
|||||
|
|
(1)
|
Pembukaan kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat di
ibukota negara, ibukota propinsi, ibukota kabupaten dan kotamadya, hanya
dapat dilakukan dengan izin Menteri, setelah mendengar pertimbangan Bank
Indonesia.
|
|||
|
|
(2)
|
Pembukaan kantor cabang di luar ibukota negara,
ibukota propinsi, ibukota kabupaten dan kotamadya, serta pembukaan kantor di
bawah kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat wajib dilaporkan kepada Bank
Indonesia.
|
|||
|
|
(3)
|
Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor-kantor
Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
|
|||
|
Pasal 20
|
|||||
|
|
(1)
|
Pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu
dan kantor perwakilan dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri hanya
dapat dilakukan dengan izin Menteri, setelah mendengar pertimbangan Bank
Indonesia.
|
|||
|
|
(2)
|
Pembukaan kantor di bawah kantor cabang pembantu
dari bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank
Indonesia.
|
|||
|
|
(3)
|
Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor-kantor
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
|
|||
|
Bagian
Kedua
Bentuk Hukum Pasal 21 |
|||||
|
|
(1)
|
Bentuk hukum suatu Bank Umum dapat berupa salah
satu dari :
|
|||
|
|
|
a.
|
Perusahaan Perseroan (PERSERO);
|
||
|
|
|
b.
|
Perusahaan Daerah;
|
||
|
|
|
c.
|
Koperasi;
|
||
|
|
|
d.
|
Perseroan Terbatas.
|
||
|
|
(2)
|
Bentuk hukum suatu Bank Perkreditan Rakyat dapat
berupa salah satu dari :
|
|||
|
|
|
a.
|
Perusahaan Daerah;
|
||
|
|
|
b.
|
Koperasi;
|
||
|
|
|
c.
|
Perseroan Terbatas;
|
||
|
|
|
d.
|
Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
|
||
|
|
(3)
|
Bentuk hukum dari kantor
perwakilan dan kantor cabang bank yang berkedudukan di luar negeri mengikuti
bentuk hukum kantor pusatnya.
|
|||
|
Bagian
Ketiga
Kepemilikan Pasal 22 |
|||||
|
|
Bank Umum hanya dapat didirikan oleh :
|
||||
|
|
a.
|
Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia yang sepenuhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau
badan hukum Indonesia; atau
|
|||
|
|
b.
|
Bank yang pendirinya sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dengan bank yang berkedudukan di luar negeri.
|
|||
|
Pasal 23
|
|||||
|
|
Bank Perkreditan Rakyat hanya
dapat didirikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia, badan hukum
Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia, pemerintah daerah,
atau dapat dimiliki bersama diantara ketiganya.
|
||||
|
Pasal 24
|
|||||
|
|
Bank Umum dan Bank Perkreditan
Rakyat yang berbentuk hukum koperasi, kepemilikannya diatur berdasarkan
ketentuan dalam Undang-undang tentang perkoperasian yang berlaku.
|
||||
|
Pasal 25
|
|||||
|
|
Bank Umum dan Bank Perkreditan
Rakyat yang berbentuk hukum perseroan terbatas, sahamnya hanya dapat
diterbitkan dalam bentuk saham atas nama.
|
||||
|
Pasal 26
|
|||||
|
|
(1)
|
Bank Umum dapat melakukan emisi saham melalui
bursa efek di Indonesia.
|
|||
|
|
(2)
|
Warga negara Indonesia, warga negara asing, badan
hukum Indonesia dan/atau badan hukum asing dapat membeli saham Bank Umum
yang dijual berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
|
|||
|
|
(3)
|
Warga negara asing dan/atau badan hukum asing
dapat membeli saham Bank Umum melalui bursa efek, dengan ketentuan tidak
menjadi mayoritas.
|
|||
|
|
(4)
|
Khusus bagi Bank Umum milik negara, emisi saham
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan tanpa
mengakibatkan perubahan atas mayoritas kepemilikan saham oleh negara.
|
|||
|
|
(5)
|
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
|
|||
|
Pasal 27
|
|||||
|
|
Perubahan kepemilikan bank wajib :
|
||||
|
|
a.
|
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (6), Pasal 17, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, dan
Pasal 26;
|
|||
|
|
b.
|
dilaporkan kepada Bank Indonesia.
|
|||
|
Pasal 28
|
|||||
|
|
(1)
|
Merger dan konsolidasi antar bank, serta akuisisi
bank wajib terlebih dahulu mendapat izin Menteri setelah mendengar
pertimbangan Bank Indonesia.
|
|||
|
|
(2)
|
Ketentuan mengenai merger, konsolidasi, dan
akuisisi ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||
|
BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 29 |
|||||
|
|
(1)
|
Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank
Indonesia.
|
|||
|
|
(2)
|
Bank Indonesia menetapkan ketentuan tentang
kesehatan bank dengan memperhatikan aspek permodalan, kualitas asset,
kualitas manajemen, rentabilitas, likuiditas, solvabilitas, dan aspek lain
yang berhubungan dengan usaha bank.
|
|||
|
|
(3)
|
Bank wajib memelihara kesehatan bank sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan wajib melakukan usaha
sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
|
|||
|
|
(4)
|
Dalam memberikan kredit dan melakukan kegiatan
usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan
kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.
|
|||
|
|
(5)
|
Untuk kepentingan nasabah, bank menyediakan
informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian bagi transaksi
nasabah yang dilakukan melalui bank.
|
|||
|
Pasal 30
|
|||||
|
|
(1)
|
Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia,
segala keterangan, dan penjelasan mengenai usahanya menurut tata cara yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
|
|||
|
|
(2)
|
Bank atas permintaan Bank Indonesia, wajib
memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada
padanya, serta wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka
memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen dan penjelasan yang
dilaporkan oleh bank yang bersangkutan.
|
|||
|
|
(3)
|
Keterangan tentang bank yang diperoleh berdasarkan
ketentuai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak diumumkan
dan bersifat rahasia.
|
|||
|
Pasal 31
|
|||||
|
|
(1)
|
Bank Indonesia melakukan
pemeriksaan terhadap bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila
diperlukan.
|
|||
|
|
(2)
|
Dalam hal diperlukan untuk
menetapkan kebijaksanaan makro dewan moneter dapat meminta Bank Indonesia
untuk :
|
|||
|
|
|
a.
|
menyampaikan laporan mengenai hasil pemeriksaan
bank yang diperlukan;
|
||
|
|
|
b.
|
melakukan pemeriksaan khusus
terhadap bank, dan melaporkan hasil pemeriksaan yang dilakukannya.
|
||
|
Pasal 32
|
|||||
|
|
Jika dianggap perlu, Menteri
dapat pula meminta Bank Indonesia untuk menyampaikan laporan mengenai hasil
pemeriksaan bank atau meminta Bank Indonesia untuk melakukan pemeriksaan
khusus terhadap bank dan melaporkan hasil pemeriksaan yang dilakukannya.
|
||||
|
Pasal 33
|
|||||
|
|
(1)
|
Laporan pemeriksaan bank sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 dan Pasal 32 bersifat rahasia.
|
|||
|
|
(2)
|
Persyaratan dan tata cara pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32 ditetapkan oleh Bank Indonesia.
|
|||
|
Pasal 34
|
|||||
|
|
(1)
|
Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia
neraca dan perhitungan laba/rugi tahunan serta penjelasannya, serta laporan
berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
|
|||
|
|
(2)
|
Neraca serta perhitungan laba/rugi tahunan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib terlebih dahulu diaudit oleh
akuntan publik.
|
|||
|
|
(3)
|
Tahun buku bank adalah tahun takwim.
|
|||
|
Pasal 35
|
|||||
|
|
Bank wajib mengumumkan neraca
dan perhitungan laba/rugi dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
|
||||
|
Pasal 36
|
|||||
|
|
Bank Indonesia dapat menetapkan
pengecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2)
bagi Bank Perkreditan Rakyat.
|
||||
|
Pasal 37
|
|||||
|
|
(1)
|
Apabila menurut penilaian Bank Indonesia suatu
bank diperkirakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya, Bank Indonesia memberitahukan hal tersebut kepada Menteri.
|
|||
|
|
(2)
|
Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya, maka Bank Indonesia dapat :
|
|||
|
|
|
a.
|
melakukan tindakan agar :
|
||
|
|
|
|
1.
|
pemegang saham menambah modal;
|
|
|
|
|
|
2.
|
pemegang saham mengganti dewan komisaris dan/atau
direksi bank;
|
|
|
|
|
|
3.
|
bank menghapus-bukukan kredit
yang macet, dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya;
|
|
|
|
|
|
4.
|
bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank
lain;
|
|
|
|
|
|
5.
|
bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil
alih seluruh kewajiban;
|
|
|
|
|
b.
|
mengambil tindakan lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
|
||
|
|
(3)
|
Apabila menurut penilaian Bank Indonesia :
|
|||
|
|
|
a.
|
keadaan suatu bank membahayakan sistem perbankan;
atau
|
||
|
|
|
b.
|
tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) belum
cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bank;
|
||
|
|
|
Bank Indonesia mengusulkan kepada Menteri untuk
mencabut izin usaha bank tersebut.
|
|||
|
|
(4)
|
Berdasarkan usul Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3), Menteri mencabut izin usaha bank yang bersangkutan
dan memerintahkan direksi untuk melikuidasi bank tersebut.
|
|||
|
|
(5)
|
Dalam hal direksi tidak melikuidasi bank
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), Menteri setelah mendengar pertimbangan
Bank Indonesia meminta kepada Pengadilan untuk melikuidasi bank yang
bersangkutan.
|
|||
|
BAB VI
DEWAN KOMISARIS, DIREKSI DAN TENAGA ASING Pasal 38 |
|||||
|
|
(1)
|
Pengangkatan keanggotaan dewan komisaris dan
direksi bank, wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (6) dan Pasal 17.
|
|||
|
|
(2)
|
Perubahan keanggotaan dewan komisaris dan direksi
bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank
Indonesia.
|
|||
|
Pasal 39
|
|||||
|
|
(1)
|
Dalam menjalankan kegiatannya, bank dapat
menggunakan tenaga asing.
|
|||
|
|
(2)
|
Persyaratan mengenai penggunaan tenaga asing
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||
|
BAB VII
RAHASIA BANK Pasal 40 |
|||||
|
|
(1)
|
Bank dilarang memberikan keterangan yang tercatat
pada bank tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabahnya, yang
wajib dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan,
kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43,
dan Pasal 44.
|
|||
|
|
(2)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berlaku pula bagi pihak terafiliasi.
|
|||
|
Pasal 41
|
|||||
|
|
(1)
|
Untuk kepentingan perpajakan Menteri berwenang
mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar memberikan keterangan dan
memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan
keuangan nasabah tertentu kepada pejabat pajak.
|
|||
|
|
(2)
|
Perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), harus menyebutkan nama pejabat pajak dan nama nasabah wajib pajak yang
dikehendaki keterangannya.
|
|||
|
Pasal 42
|
|||||
|
|
(1)
|
Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana,
Menteri dapat memberi izin kepada polisi, jaksa atau hakim untuk memperoleh
keterangan dari bank tentang keadaan keuangan tersangka/terdakwa pada bank.
|
|||
|
|
(2)
|
Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan
secara tertulis alas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik
Indonesia, Jaksa Agung, atau Ketua Mahkamah Agung.
|
|||
|
|
(3)
|
Permintaan sebagaimana dimaksud dalam, ayat (2)
harus menye¬butkan nama dan jabatan polisi, jaksa atau hakim, nama tersangka/
terdakwa, sebab-sebab keterangan diperlukan dan hubungan perkara pidana yang
bersangkutan dengan keterangan-keterangan yang diperlukan.
|
|||
|
Pasal 43
|
|||||
|
|
Dalam perkara perdata antara
bank dengan nasabahnya, direksi bank yang bersangkutan dapat
menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang
bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara
tersebut.
|
||||
|
Pasal 44
|
|||||
|
|
(1)
|
Dalam rangka tukar menukar informasi antar bank,
direksi bank dapat memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank
lain.
|
|||
|
|
(2)
|
Ketentuan mengenai tukar menukar informasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Bank Indonesia.
|
|||
|
Pasal 45
|
|||||
|
|
Pihak yang merasa dirugikan
oleh keterangan yang diberikan oleh bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44, berhak untuk mengetahui isi keterangan
tersebut dan meminta pembetulan jika terdapat kesalahan dalam keterangan
yang diberikan.
|
||||
|
BAB
VIII
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 46 |
|||||
|
|
(1)
|
Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito,
tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu tanpa izin
usaha dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17, diancam
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah).
|
|||
|
|
(2)
|
Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas,
perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan--badan
dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan
perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau
terhadap kedua-duanya.
|
|||
|
Pasal 47
|
|||||
|
|
(1)
|
Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis dari
Menteri kepada bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 atau tanpa izin
Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank
atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah).
|
|||
|
|
(2)
|
Anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank
atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan
yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua
milyar rupiah).
|
|||
|
Pasal 48
|
|||||
|
|
(1)
|
Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank
yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat
(1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
clan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,¬(dua milyar rupiah).
|
|||
|
|
(2)
|
Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank
yang lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (1) clan ayat (2) clan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2),
diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miiyar rupiah).
|
|||
|
Pasal 49
|
|||||
|
|
(1)
|
Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank
yang dengan sengaja :
|
|||
|
|
|
a.
|
membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu
dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan
kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
|
||
|
|
|
b.
|
menghilangkan atau tidak memasukkan atau
menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan,
maupun dalam dokumen awu laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau
rekening suatu bank;
|
||
|
|
|
c.
|
mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus,
atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalarn pembukuan: atau dalam
laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi
atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan,
menghilang¬kan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut,
|
||
|
|
|
diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar
rupiah).
|
|||
|
|
(2)
|
Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank
yang dengan sengaja :
|
|||
|
|
|
a.
|
meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui
untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau
barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan
keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang
lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari
bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas
surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban
lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk
melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank;
|
||
|
|
|
b.
|
tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan
untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini
dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank,
|
||
|
|
|
diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan denda paling banyak Rp. 6.000.000.000,- (enam milyar rupiah).
|
|||
|
Pasal 50
|
|||||
|
|
Pihak terafiliasi yang dengan
sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan
ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank diancam dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.
6.000.000.000,- (enam milyar rupiah).
|
||||
|
Pasal 51
|
|||||
|
|
(1)
|
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46,
Pasal 47, Pasal 48 ayat (1), Pasal 49, dan Pasal 50 adalah kejahatan.
|
|||
|
|
(2)
|
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
ayat (2) adalah pelanggaran.
|
|||
|
Pasal 52
|
|||||
|
|
Dengan tidak mengurangi
ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, dan Pasal
49, Bank Indonesia dapat menetapkan sanksi administratif kepada bank yang
tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang ini
atau menyampaikan pertimbangan kepada Menteri untuk mencabut izin usaha bank
yang bersangkutan.
|
||||
|
Pasal 53
|
|||||
|
|
Dengan tidak mengurangi
ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Bank Indonesia dapat
menetapkan sanksi administratif kepada pihak terafiliasi yang tidak memenuhi
kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang ini atau
menyampaikan pertimbangan kepada instansi yang berwenang untuk mencabut izin
yang bersangkutan.
|
||||
|
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN Pasal 54 |
|||||
|
|
(1)
|
Dengan berlakunyi Undang-undang ini :
|
|||
|
|
|
a.
|
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor
21 Tahun 1960 tentang Bank Pembangunan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1960
Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1996);
|
||
|
|
|
b.
|
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1962 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah (Lembaran Negara Tahun
1962 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2490);
|
||
|
|
|
c.
|
Undang-undang Nomor 17 Tahun 1968 tentang Bank
Negara Indonesia 1946 (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 70, Tambahan
Lembaran Negara Nornor 2870);
|
||
|
|
|
d.
|
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1968 tentang Bank
Dagang Negara (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2871);
|
||
|
|
|
e.
|
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1968 tentang Bank
Bumi Daya (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2872);
|
||
|
|
|
f.
|
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1968 tentang Bank
Tabungan Negara (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 73, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2873);
|
||
|
|
|
g.
|
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1968 tentang Bank
Rakyat Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 74, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2874);
|
||
|
|
|
h.
|
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1968 tentang Bank
Rakyat Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 74, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2874);
|
||
|
|
|
dinyatakan tetap berlaku untuk
jangka waktu selama-lamanya 1 (satu) tahun sejak mulai berlakunya
Undang-undang ini.
|
|||
|
|
(2)
|
Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), bank yang didirikan berdasarkan Undang-undang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib memenuhi ketentuan dalam Undang-undang ini.
|
|||
|
|
(3)
|
Dalam hal bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
telah menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini lebih awal dari
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Undang-undang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), menjadi tidak berlaku lagi.
|
|||
|
Pasal 55
|
|||||
|
|
(1)
|
Bank yang telah memiliki izin usaha dari Menteri
pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, dinyatakan telah memperoleh izin
usaha berdasarkan Undang-undang ini.
|
|||
|
|
(2)
|
Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini selambat-lambatnya
dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak mulai berlakunya Undang-undang ini.
|
|||
|
|
(3)
|
Bank Perkreditan Rakyat yang telah mempunyai izin
usaha pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, dan berkedudukan di ibukota
negara, ibukota propinsi, ibukota kabupaten, dan kotamadya, tetap dapat
melanjutkan usahanya sebagai Bank Perkreditan Rakyat hingga dapat
ditingkatkan menjadi Bank Umum.
|
|||
|
Pasal 56
|
|||||
|
|
Ketentuan batas maksimum pemberian kredit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dan ayat (4), wajib dipenuhi
o1ch bank selambat¬lambatnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak mulai
berlakunya Undang-undang ini.
|
||||
|
Pasal 57
|
|||||
|
|
Lembaga Keuangan Bukan Bank
yang telah memiliki izin usaha dari Menteri pada saat Undang-undang ini
mulai berlaku, dapat menyesuaikan kegiatan usahanya sebagai bank berdasarkan
ketentuan dalam Undang-undana ini, selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun sejak mulai berlakunya Undang-undang ini.
|
||||
|
Pasal 58
|
|||||
|
|
Bank Desa, Lumbung Desa, Bank
Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD),
Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat
Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa
(BKPD) dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu
diberikan status sebagai Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Undang-undang
ini dengan memenuhi persyaratan tata cara yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
|
||||
|
Pasal 59
|
|||||
|
|
Peraturan perundang-undangan
yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Undang-undang ini sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai
dengan dicabut, diganti atau diperbaharui.
|
||||
|
BAB X
KETENTUAN PENUTUP Pasal 60 |
|||||
|
|
Dengan berlakunya Undang-undang ini maka :
|
||||
|
|
a.
|
Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 tanggal 14
September 1929 tentang Aturan-aturan mengenai Badan-badan Kredit Desa dalam
propinsi-propinsi di Jawa dan Madura di luar wilayah kotapraja-kotapraja;
|
|||
|
|
b.
|
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1962 tentang Bank
Pembangunan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2489);
|
|||
|
|
c.
|
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang
Pokok-pokok Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 34, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2842),
|
|||
|
|
dinyatakan tidak berlaku lagi.
|
||||
|
Pasal 61
|
|||||
|
|
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
|
||||
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Disahkan di Jakarta
|
|
|
|
|
|
|
pada tanggal 25 Maret 1992
|
|
|
|
|
|
|
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
|
S O E H A R T O | ||||||
|
|
Diundangkan di Jakarta
|
|
|||
|
|
pada tanggal 25 Maret 1992
|
|
|||
|
|
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
|
|
|||
REPUBLIK INDONESIA | ||||||
MOERDIONO | ||||||
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
iNDONESIA TAHUN 1192 NOMOR 32
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar