Rabu, 27 Juni 2012

TEORI TABUNGAN DAN INVESTASI


TEORI TABUNGAN DAN INVESTASI

Suatu perekonomian bebas bunga, sepeerti yang dianjurkan oleh Islam, adalah satu-satunya pemecahan untuk mengurangi penderitaan manusia yang merosot martabatnya dalam sistem perekonomian kapitalis. Dalam sistem perekonomia Islam sebagian besar perekonomian akan berada di bawah pengawasan negara dan sebagian besar tabungan akan merupakan tabungan kolektif yang dilakukan negara untuk kesejahteraan rakyat, dan saham modal lainnya hanya akan diakui melalui laba biasa.
Menurut Mannan (1997;127), bahwa dengan tidak adanya bunga, tabungan tidak akan dimobilisasi untuk pembentukan modal, karena itu, keperluan akan modal berbunga sebenarnya timbul dengan perkembangan industri dan perdagangan secara besar-besaran. Serangan paling tajam terhadap pendirian ini datang dari Keynes, yang menolak bahwa tabungan itu sendiri memerlukan suatu rangsangan dengan bentuk bunga. Dia menyatakan bahwa sebagian besar tabungan bersifat sukarela. Dengan demikian tidak memerlukan imbalan khusus berupa uang. Bahkan jiak diakui bahwa suku bunga mempunyai sedikit pengaruh terhadap tabungan marjinal, pendirian neo klasik itu telah diruntuhkan oleh anggapan tentang pendapatan tetap. Keynes telah mencoba membuktikan bahwa tabungan dan investasi selalu harus tetap sama; persamaan antara keduanya itu disebabkan oleh perubahan dalam tingkat pendapatan sebagai akibat investasi.
Lebih lanjut Mannan (1907 ; 127) mengemukakan bahwa bahkan dengan tidak adanya rangsangan bunga, mungkin terdapat lebih banyak tabungan dan investasi, dan berakibat lebih banyak pendapatan, sebagian karena daya tarik sisa laba yang lebih tinggi, sebagian lagi karena kurangnya resiko kerugian. Karena peran serta rakyat yang langsung dalam proses produksi, maka hasil investasi mencukupi dan adil tanpa sebagian besar daripadanya dieksploitir oleh kapitalis. Selanjutnya keputusan mengenai pembuatan kebijakan yang begitu luas dan dipertanggungjawabkan bersama, menyebabkan berkurangnya peluang investasi yang tidak bijaksana dan berbahaya, dan dengan demikian akan mengurangi resiko sekecil-kecilnya.
Menurut Kahf (1995) ; Chapra (2002) penanaman spirit Islam pada semua tingkatan masyarakat akan mengurangi klaim ppada sumber daya, termasuk cadangan devisa, dan akan mendorong tabungan dan formasi kapital. Hal ini juga akan mengurangi permintaan kredit (bukan saja untuk tujuan-tujuan konsumsi pamer, yang tidak meluas tersebar di negara-negara berkembang, ttapi juga impor, produkssi dan distribusi barang-barang demikian) dan karena itu adalah ekspansi moneter yang tidak perlu. Pelanggaran terhadap nilai-niali Islam oleh sebagian orang sekalipun akan cenderung melonggarkkan ikatan sosial untuk memperoleh simbol-simbol prestise sehingga mempertajam nafsu ketamakan dan kedengkian.
Selain itu, Kahf (1995), Chapra (2002) juga menyebutkan bahwa pengeluaran ayng berlebihan dilarang, penimbunan simpanan juga dikecam tugas oleh Al-Qur’an dan As-sunnah. Sumber-sumber daya empunya (dalam batas-batas yang ditetapkan oleh Islam) atau peruntukan bagi orang lain sehingga memenuhi tujuan dasar penciptanya. Membiarkannya menganggur dan tidak memanfaatkannya bagi tujuan-tujuan konsumsi yang benar atau untuk pengembangan barang-barang umum lewat kontribusi kesejahteraan (zakat, sedekah, dan pembayaran semacamnya) atau untuk investasi produktif telah dikecam oleh Islam.
Lebih lanjut, Kahf dan Chapra menyatakan bahwa sangatlah perlu mengorganisasikan serta meregulasi uang dan sistem perbankan dalam suatu cara yang tidak saja akan mengurangi dorongan melakukan pengeluaran ayng berlebihan, tetapi juga memobilisasi simpanan dan menyalurkannya ke dalam pemanfaatan-pemanfaatan secara sosial produktif. Bagaimanapun, sistem itu tidak boleh mengalahkan atau memfasilitasi produksi serta konsumsi barang dan jasa yang memiliki prioritas dalam sistem nilai Islam. Deposito yang dipakai oleh Bank untuk memberikan pinjaman adalah milik masyarakat dan keadilan sosioekonomi menuntut bahwa sumber-sumber daya yang sudah dimobilisasi itu dialokasikan untuk membantu membiayai produuksi dan distribusi semua kebutuhan masyarakat sebelum dana-dana itu dipersiapkan untuk tujuan-tujuan lain.  

Sumber : Buku Eko suprayitno, Ekonomi Islam Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, ( Yogyakarta : Graha Ilmu, 2005 ).

TEORI NILAI TUKAR ISLAM


TEORI NILAI TUKAR ISLAM

Dalam pembahasan nilai tukar menurut Islam akan dipakai dua skenario yaitu :
1.      Skenario 1 : terjadi perubahan-perubahan harga di dalam negeri yang mempengaruhi nilai tukar uang ( faktor luar negeri dianggap tidak berubah/berpengaruh)
2.      Skenario    2    :   terjadi perubahan-perubahan harga di dalam negeri ( faktor di dalam negeri dianggap tidak berubah/berpengaruh ).
Selain dari itu, perlu untuk diingat bahwa kebijakan nilai tukar uang dalam Islam dapat dikatakan menganut sistem “managed Floating”. Dimana nilai tukar adalah hasil dari kebijakan-kebijakan pemerintah (bukan merupakan cara ata kebijakan iti sendiri) karena pemerintah tidak mencampuri keseimbangan yang terjadi di pasar kecuali jika terjaddi hal-hal yang mengganggu keseimabangan itu sendiri. Jadi bisa dikatakan bahwa suatu nilai tukar yang stabil adalah merupakan hasil dari kebijakan pemerintah yang tepat. Untuk lebih memudahkan pembahasan teori nilai tukar uang dalam Islam ini juga akan dicontohkan bahwa mata uang dalam negeri adalah rupiah (IDR) dan mata uang asing adalah Singapura (SGD).

1.    Perubahan Harga Terjadi di Dalam Negeri
Seperti juga inflasi, penyebab fluktuasi sebuah mata uang dikelompokkan :
a.      Natural Exchange Rate Fluktuation :
1)        Fluktuasi nilai tukar uang akibat dari perubahan-perubahan yang terjadi pada Permintaan Agregatif (AD) : sama seperti pembahasan pada bagian inflasi, ekspansi AD akan mengakibatkan naiknya tingkat harga (P) secara keseluruhan. Seperti kita ketahui bahwa P = e P’, jika tingkat harga dalam negeri naik sedangkat tingkat harga di luar negeri tetap maka nilai tukar mata uang akan mengalami depresiasi. Sebaliknya, jika AD mengalami kontraksi naka tingakt harga akan mengalami penurunan, yang akan mengakibatkan nilai tukar mengalami apresiasi.
2)        Fluktuasi nilai tukar uang akibat perubahan-perubahan yang terjadi pada Penawaran Agregatif (AS) : jika AS mengalami kontraksi, akan berakibat naiknya tingkat harga secara keseluruhan, kemudian akan melemahnya (depresiasi) nilai tuka. Sebaliknya, jika AS mengalami ekspansi, maka akan berakibat pada turunnya tingkat harga secara keseluruhan yang akan mengakibatkan menguatnya (ekspresiasi) nilai tukar.
b.      Human Error Exchange Rate Fluctuation
1)        Corruption dan Bad Administration : seperti yang telah kita bahas pada bagian inflasi, korupsi dan administrasi yang buruk akan mengakibatkan naiknya harga akibat terjadinya misallocation of resources serta mark-up yang tinggi yang harus dilakukan oleh produsen untuk menutupi “biaya-biaya siluman” dalam proses produksinya. Akibatnya, tingkat harga secara keseluruhan akan mengalami kenaikan. Jika merujuk pada persamaan P = e P’, maka naiknya tingkat harga akan mengakibatkan terjadinya depresiasi nilai tukar uang.
2)        Excessive Tax : pajak penjualan yang sangat tinggi yang dikenakan pada barang dan jasa akan mengakibatkan harga jual dari barang dan jasa tersebut. Secara agregat, tingkat harga-harga akan mengalami kenaikan. Jika kita merujuk kembali pada persamaan P = e P’, maka dapat diambil kesimpulan  bahwa tingkat pajak yang sangat tinggi akan mengakibatkan pada melemahnya (depresiasi) nilai tukar uang.
3)        Excessive Seignorage : seperti yang telah dibahas pada bab yang telah membahas tentang inflasi, pencetak full-bodied money atau 100% reserve money mengakibatkan terjadinya inflasi. Akan tetapi, jika uang yang dicetak selain dari kedua jenis itu, maka akan menyebabkan terjadinya kenaikan tingkat harga secara umum. Efek yang akan ditimbulkan oleh percetakan uang yang berlebihan (melebihi kebutuhan sektor riil) adalah kenaikan tingkat harga secara keseluruhan atau inflasi. Merujuk kembali pada persamaan paritas daya beli yaitu P = e P’, jika tingkat hrarga dalam negeri mengalami kenaikan sementara tingkat harga luar negeri tetap maka nilai tukar uang mengalami depresiasi.
Inflasi itu sendiri dapat dikatakan sebagai “tax on holding money” karena menyebabkan orang-orang menjadi tidak ingin untuk emegang uang karena menjadi semakin menyusut nilainya. Kecenderungan orang untuk tidak memegang uang akan mengakibatkan permintaan akan uang menurun.


2.      Perubahan Harga Terjadi di Luar Negeri
Pada bagian ini diasumsikan bahwa di dalam negeri tidak terjadi perubahan-perubahan hargayang mengganggu nilai tukar uang. Perrubahan harga yang terjadi di luar negeri bisa digolongkan karena dua sebab yaitu :
a.      Non-engineered/Non-Manipualated Changes :
Disebut sebagai Non-engineered/Non-Manipualated Changes adalah karena perubahan yang terjadi bukan disebabkan oleh manipulasi (yang dimaksud untuk merugikan) yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Misalkan, jika Bank Sentral Singapura (BSS) mengurangi jumlah uang SGD yang beredar, hal tersebut akan mengakibatkan IDR terdepresiasi tanpa diduga (direncanakan oleh Bank Indonesia). Oleh karena itu, BI biasanya akan menghilangkan efek ini dengan menjual SGD yang dimilikinya (cadangan devisa), baik dengan cara sterilized intervention maupun dengan cara unsterilized intervention.
Jika BI menambah IDR dengan mencetaknya, maka hal ini disebut unsterilized intervention (intervensi yang tidak steril), sedangkan jika IDR ditambah dengan menjual asset lain disebut dengan sterilized inervention (intervensi steril). Intervensi steril terhadap mata uang asing akan menghilangkan pengaruh penawaran uang dalam  negeri. Sedangkan intervensi Bank Sentral yang tidak steril tidak menghilangkan pengaruh terhadap penawaran uang dalam negeri. Intervensi yang tidak steril akan mempengaruhi nilai tukar uang melalui dua cara yaitu mengubah permintaan dari SGD sehingga akan mengubah Psg, kedua ia akan mengubah penawaran dari IDR sehingga ia akan mengubah Pid dengan arah yang berlawanan. Karena Psg dan Pid berubah dengan arah yang berlawanan, maka berdasarkan persamaan Pid = e Psg, nilai e akan berubah pula. Di lain pihak, intervensi steril akan mempengaruhi nilai tukar hanya melalui satu cara yaitu ia akan mengubah permintaan SGD sehingga akan menguban Psg, tetapi tidak mempengaruhi Pid. Namun demikian, karena Psg berubah maka berdasarkan persamaan P = e P’ maka nilai e (nilai tukar uang) akan berubah pula.
b.      Engineered/Manipulated Changes;
Disebut Engineered/Manipulated Changes adalah karena perubahan yang terjadi disebabkan oleh manipulasi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang dimaksudkan untuk merugikan pihak lain. Misalnya para fund manager di Singapura melepas IDR yang dimilikinya sehingga terjadi “banjir Rupiah” yang mengakibatkan nilai tukar rupiah mengalami depresiasi secara tiba-ttiba atau drastis di luar perkiraan BI. Tindakan para fund manager  Singapura menimbun IDR untuk dilepaskan saat tertentu untuk mengambil keuntungan dari fluktuasi nilai tukarr IDR merupaka tindakan yang dilarang Islam yaitu pertama, termasuk dalam kategori ikhtikar (rekayasa penawaran untuk mengambil keuntungan di atas keuntungan normal tanpa adanya rekayasa). Kedua, ketika para fund manager Singapura melakukan manipulasi terhadap permintaan IDR, misalkan melalui mekanisme forward transaction yang dikombinasikan dengan margin trading, sehingga seakan-akan permintaan IDR menurun drastis dimana selanjutnya para fund manager itu kemudian mengambil keuntungan dari fluktuasi nilai tukar IDR tersebut. Hal ini pun dilarang dalam Islam yaitu termasuk dalam kategori ba’i najasy (rekayasa tanpa adanya rekayasa). Dalam mengatasi ikhtikar dan  ba’i najasy Bank Indonesia juga harus menetapkan suatu nilai tukar tetap secara temporer pada original supporting level-nya sampai aksi-aksi meruugikan para fund managers tersebut usai.
3.      Sistem Nilai Tukar dalam Islam
Pertanyaannya, dari ketiga sistem nilai tukar mata uang yang ada dalam ekonomi konvensional, manakah yang sesuai dengan konsep ekonomi Islam? Beberapa argumen muncul, yaitu :
a.       Pendapat pertama yang tepat, namun sering dianggap radikal bahkan oleh pengusung ekonomi Islam sendiri adalah kembali menggunakan mata uang fisik dinar dan dirham (full bodied money). Dimana mata uang dunia saat ini kembali kepada standar emas dan perak, hal ini pun telah mulai dirintis di Indonesia, namun perkembangannya masih belum mencapai taraf sebagai nilai tukar dalam transaksi tetapi masih sebagai sarana investasi. Alternatif yang pertama, saat ini akan (masih) sulit diwujudkan. Kesulitan ini terutama karena dinar dan dirham – meski sebenarnya merupakan mata uang dari luar Islam yaitu Romawi dan Persia – telah dicitrakan sebagai mata uang Islam. Menurut penulis, seandainya negara-negara Islam mengusulkan kepada dunia untuk menggunakan dinar dirham, akan banyak penolakan terutama Barat yang phobia terhadap Islam.
b.      Pendapat kedua yang moderat mengusulkan supaya mata uang sekarang agar di-backup  dengan emas sebagaimana bretton woods system. Sehingga setiap pencetakan uang harus didasarkan kepada cadangan emas tertentu yang telah disepakati bersama, agar tidak terjadi pencetakan uang berlebihan seperti saat ini. Dengan begitu, peluang terbesar ada pada usulan moderat, yaitu agarr mata uang-mata uang sekarang kembali di-backup dengan emas-tentu dengan beberapa penyempurnaan dari sistem sebelumnya (Bretton Woods). Sistem inilah yang oleh kalangan barat ingin kembali digulirkan yang dikenal dengan istilah Bretton woods II. Usulan ini bahkan didukung oleh nama-nama besar seperti Joseph E. Stiglitz ( Ekonom peraih nobel dari Amerika), Gordon Brown (mantan PM Inggris) hingga Nicholas Sarkozy (Presiden Perancis).
c.       Sedangkan yang paling lunak adalah sebagaimana seperti adanya sekarang, hanya bagaimana pemerintah mengatur supaya tidak ada lagi unsur maghrib ( maysir ‘spekulasi’, gharar ‘penipuan’ dan riba ) dalam sistem ekonomi moneter yang berlaku. Dari ketiga usulan itu, penulis dengan tegas menolak yang disebutkan terakhir berdasarkan kenyataan bahwa sistem moneter yang ada sekarang memungkinkan pihak yang mengejar keuntungan pribadi melakukan aksi maghrib tersebut. Terbukti, betapapun pemerintah menghimabu para spekulan, aksi spekulasi di bursa valas masih tetap gencar.

Sumber : Buku Nur Rianto Al Arif, Teori Makroekonomi Islam;Konsep, Teori, dan Analisis, (Bandung : Alfabeta, 2010).
  

TEORI KONSUMSI DALAM EKONOMI ISLAM


TEORI KONSUMSI DALAM EKONOMI ISLAM

Menurut Kahf (1995), Chapra (2002;309), konsumsi agregat merupakan salah satu variabel kunci dalam ilmu ekonomi konvensional. Konsumsi agregat terdiri dari konsumsi barang kebutuhan dasar (Cn) serta konsumsi barang mewah (Ci). Barang-barang kebutuhan dasar (termasuk untuk keperluan hidup dan kenyamanan) dapat didefinisikan sebagai barang dan jasa yang mampu memenuhi suatu kebutuhan atau mengurangi kesulitan hidup sehingga memberikan perbedaan yang riil dalam kehidupan konsumen. Barang-barang mewah sendiri dapat didefinisikan sebagai semua barang dan jasa yang diinginkan baik untuk kebanggaan diri maupun untuk sesuatu yang sebenarnya tidak memberikan perubahan berarti bagi kehidupan konsumen.
Lebih lanjut Chapra (2002;309) mengatakan bahwa konsumsi agregat yang sama mungkin memiliki porsi barang kebutuhan dasar dan barang mewah yang berbeda ( C = Cn + Ci ) dan tercapai tidaknya pemenuhan suatu kebutuhan tidak tergantung kepada proporsi sumber daya yang dialokasikan kepada masing-masing konsumsi ini. Semakin banyak sumber daya masyarakat yang digunakan untuk konsumsi dan produksi barang dan jasa mewah (Ci), semakin sedikit suumber daya yang tersedia untuk pemenuhan kebutuhan dasar (Cn). Dengan demikian, meski terjadi peningkatan pada konsumsi agregat, ada kemugkinan bahwa kehidupan masyarakat tidak menjadi lebih baik dilihat dari tingkat pemenuhan dasar penduduk miskin (Cn), jika semua peningkatan yang terjadi pada konsumsi tersebut lari ke penduduk kaya untuk pemenuhan kebutuhan barang-barang mewah (Ci).
Fungsi konsumsi di dalam ilmu makroekonomi konvensional tidak memperhitungkan komponen-komponen konsumsi agrega ini (Cn dan Ci). Yang lebih banyak dibicarakan dalam ilmu makroekonomi konvensional terutama mengenai pengaruh dari tingkat harga dan pendapatan terhadap konsumsi. Hal ini dapat memperburuk analisis, karena saat tingkat harga dan pendapatan benar-benar memainkan peran yang subsstansial dalam menentukan konsumsi bagregat (C), ada sejumlah faktor moral, sosial, politik, ekonomi, dan sejarah yang memengaruhi pengalokasiannya pada masing-masing komponen konsumsi (Cn dan Ci). Dengan demikian, faktor-faktor nilai dan kelembagaan serta preferensi, distribusi pendapatan dan kekayaan, perkembangan sejarah, serta kebijakan-kebijakan pemerintah tentunya tak dapat diabaikan dalam analisis ekonomi.
Sejumlah ekonom Muslim diantaranya  adalah Zarqa (1980 dan 1982), Monzer Kahf (1978 dan 1980), M.M Metwally (1981), Fahim Khan (1988), M.A Manan (1986), M.A Choudhury (1986), Munawar Iqbal (1986), Bnedjilali dan Al-Zamil (1993) dan Ausaf Ahmad(1992) telah berusaha memformulasikan fungsi konsumsi yang mencerminkan faktr-faktor tambahan ini meski tidak seluruhnya. Mereka beranggapan bahwa tingkat harga saja tidaklah cukup untuk mengurangi konsumsi barang mewah (Ci) yang dilakukan oleh orang-orang kaya. Diperlukan cara untuk mengubah sikap, selera dan preferensi, memberikan motivasi yang tepat, serta menciptakan lingkungan sosial yang memandang buruk konsumsi seperti itu (Ci). Disamping itu perlu pula menyediakan sumber daya bagi penduduk miskin guna meningkatkan daya beli atas barang-barang dan jasa-jasa yang terkait dengan kebutuhan dasar (Cn). Hal inilah yang coba dipenuhi oleh paradigma religius, khususnya islam, dengan menekankan perubahan individu dan sosial melalui reformasi moral dan kelembagaan (dalam Chapra, 2002;310)
Norma konsumsi Islam mungkin dapat membantu memberikan orientasi preferensi individual yang menentang konsumsi barang-barang mewah (Ci) dan bersama dengan jaring pengaman sosial, zakat serta pengeluaran-pengeluaran untuk amal mempengaruhi alokasi dari sumber daya yang dapat meningkatkan tingkat konsumsi pada komponen barang kebutuhan dasar (Cn). Produsen kemudian mungkin akan merespon permintaan ini sehingga volume investasi yang lebih besar dialihkan kepada produksi barang-barang yang terkait dengan kebutuhan dasar (Cn).


Sumber : Buku Eko suprayitno, Ekonomi Islam Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, ( yogyakarta : Graha Ilmu, 2005 ).


STRATEGI KONSEP DINAR DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL


STRATEGI KONSEP DINAR DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Ide penerapan gold dinar dalam perdagangan internasional diakui memerlukan keputusan politik yang tidak sederhana. Lantaran itu, perlu kesabaran luar biasa untuk terus meyakinkan berbagai pihak, khususnya negara-negara muslim untuk akhirnya bisa mencapai kesepakatan yang dimaksud. Agar konsep dinar dapat menjadi mata uang internasional antara negara muslim dan menembus sistem moneter global, maka perlu beberapa strategi yang harus disiapkan, antara lain dapat ditempuh melalui beberapa tahap, yaitu :
Tahap pertama, negara-negara yang tergabung dalam anggota OKI harus sepakat membuat undang-undang atau peraturan tentang pembayaran transaksi perdagangan internasionalnya baik perdagangan secara bilateral maupun multilateral dengan menggunakan mata uang dinar. Hal ini agar mendorong akselerasi penerapan dinar dalam perdagangan internasional. Karena undang-undang atau peraturan merupakan payung hukum dan instrumen utama demi terealisasinya tujuan yang dimakksud.
Tahap kedua, negara-negara yang tergabung dalam anggota OKI harus memulai dengan membuat standar ukuran umum mata uang dinar yang akan digunakan sebagai mata uang tunggal yang perlu dipenuhi dengan mengambil rata-rata persamaan dari negara-negara OKI yang mau bergabung. Tahap ketiga, negara-negara yang tergabung dalam anggota OKI harus menciptakan suatu lembaga yang akan mengurus dan mengelola kendali moneter yang menjadi embrio yang nantinya akan menjadi Bank Sentral atau Bank Kustodian dari seluruh negara OKI, sebagai contoh sebut saja IDB (Islamic Development Bank). IDB berfungsi mengatur kebijakan umum moneter untuk seluruh negara OKI, mengatur operasi nilai tukar mata uang asing, menyimpan cadangan devisa bagi negara OKI dan mempromosikan mekanisme pembayaran yang stabil antar anggota. Bank Kustodian ini juga bermaksud agar bisa memudahkan memonitor dan memastikan masing-masing anggota memenuhi jumlah minimal yang disyaratkan dari simpanan emasnya. Institusi ini juga akan memastikan fungsi pembayaran dan sekaligus juga berfungsi sebagai pemegang kustodian dari rekening gold dinar.
Selanjutnya, dengan telah dilakukannya beberapa tahap di atas, maka para pemerintah negara OKI sudah semestinya mensosialisasikan kepada para masyarakat khususnya para pengusaha ekspor maupun impor baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini ditujukan untuk memberi pemahaman kepada masyarakat. Jika mayoritas masyarakat sudah memahami keunggulan mata uang emas ini, maka lambat laun mereka akan menggunakannya untuk keperluan praktis dan mengarah kepada praktik keseharian. Salah satu yang sudah mendapat tempat adalah pembayaran zakat dengan emas.
Selain pembayaran zakat dengan emas, masih banyak potensi penggunaan emas yang tidak saja punya dimensi religius, tapi juga inestatif. Salah satunya yang bisa dikembangkan adalah penggunaan emas sebagai alat pembayaran sekaligus media investasi untuk haji. Selain harga jualnya yang cenderung terus meningkat, investasi ini juga termasuk likuid. Dalam lingkup yang lebih besar, penggunaan dinar bisa dilakukan  untuk pembayaran transaksi minyak. Negara pengekspor minyak seperti Iran berpeluang menerapkan sistem ini. Implementasinya bisa jadi lebih sederhana karena transaksi lebih akan melibatkan hubungan negara dengan negara (G to G), bukan swasta kepada swasta, sehingga transaksinya relatif bisa lebih sederhana. Penggunaan dinar sebagai alat pembayaran minyak tak pelak akan langsung mengubah peta keseimbangan moneter internasional, karena negara-negara net importers mau tidak mau harus menukarkan dolarrnya dengan dinar. Secara ekonomi, penukaran ini lebih menguntungkan mereka karena ini kesempatan untuk bisa mendeversikan cadangan mata uang mereka yang sebelumnya didominasi dolar AS ke dalam dinar yang tidak perlu di-hedge karena memiliki nilai intrinsik.



Sumber : Buku Nur Rianto Al Arif, Teori Makroekonomi Islam;Konsep, Teori, dan Analisis, (Bandung : Alfabeta, 2010).