|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||
Ringkasan Peraturan Perundang-undangan Bank Indonesia
|
Selasa, 20 Maret 2012
Surat Edaran Bank Indonesia
PBI Bank Indonesia
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
Ringkasan:
|
fatwa DSN MUI tentang perbankan syari'ah
Tidak semua klaim yang dikemukakan bank syariah telah sesuai dengan
bukti praktik di lapangan. Agar dikatakan layak secara syariah, bank
syariah menyatakan dirinya telah sesuai dengan fatwa DSN MUI. Namun,
lain dikata, lain realita, ternyata banyak praktik bank syariah yang bertentangan dengan fatwa DSN MUI.
Untuk membuktikan hal itu, mari kita adakan perbandingan antara fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) MUI dengan praktik yang diterapkan di perbankan syariah. Semoga perbandingan ini menjadi masukan positif bagi semua kalangan yang peduli dengan perkembangan perbankan syariah di negeri kita.
Fatwa Pertama: Tentang Murabahah Kontemporer
Akad Murabahah adalah salah satu produk perbankan syariah yang banyak diminati masyarakat. Karena akad ini menjadi alternatif mudah dan tepat bagi berbagai pembiayaan atau kredit dalam perbankan konvensional yang tentu sarat dengan riba.
Kebanyakan ulama dan juga berbagai lembaga fikih nasional atau internasional, membolehkan akad murabahah kontemporer. Lembaga fikih nasional DSN (Dewan Syariah Nasional) di bawah MUI, juga membolehkan akad murabahah, sebagaimana dituangkan dalam fatwanya no: 04/DSN-MUI/IV/2000. Fatwa DSN ini, menjadi payung dan pedoman bagi perbankan syariah dalam menjalankan akad murabahah. Tapi bagaimana praktik bank syariah terhadap fatwa Murabahah?
DSN pada fatwanya No: 04/DSN-MUI/IV/200, tentang murabahah menyatakan: “Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.” (Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, Hal. 24)
Komentar:
Bank syariah manakah yang benar-benar menerapkan ketentuan ini, sehingga barang yang diperjual-belikan benar-benar telah dibeli oleh bank?
Pada praktiknya, perbankan syariah hanya melakukan akad murabahah bila nasabah telah terlebih dahulu melakukan pembelian dan pembayaran sebagian nilai barang (baca: bayar uang muka).
Adakah bank yang berani menuliskan pada laporan keuangannya bahwa ia pernah memiliki aset dan kemudian menjualnya kembali kepada nasabah? Tentu Anda mengetahui bahwa perbankan di negeri kita, baik yang berlabel syariah atau tidak, hanyalah berperan sebagai badan intermediasi. Artinya, bank hanya berperan dalam pembiayaan, dan bukan membeli barang, untuk kemudian dijual kembali. Karena secara regulasi dan faktanya, bank tidak dibenarkan untuk melakukan praktik perniagaan praktis. Dengan ketentuan ini, bank tidak mungkin bisa membeli yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri. Hasilnya, bank telah melanggar ketentuan DSN MUI di atas.
Fatwa Kedua, Tentang Akad Mudharabah (Bagi Hasil)
Akad mudharabah adalah akad yang oleh para ulama telah disepakati akan kehalalannya. Karena itu, akad ini dianggap sebagai tulang punggung praktik perbankan syariah. DSN-MUI telah menerbitkan fatwa no: 07/DSN-MUI/IV/2000, yang kemudian menjadi pedoman bagi praktik perbankan syariah. Tapi, lagi-lagi praktik bank syariah perlu ditinjau ulang.
Pada fatwa dengan nomor tersebut, DSN menyatakan: “LKS (lembaga Keuangan Syariah) sebagai penyedia dana, menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI, Hal. 43)
Pada ketentuan lainnya, DSN kembali menekankan akan hal ini dengan pernyataan: “Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun, kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI, Hal. 45)
Komentar:
Praktik perbankan syariah di lapangan masih jauh dari apa yang di fatwakan oleh DSN. Andai perbankan syariah benar-benar menerapkan ketentuan ini, niscaya masyarakat berbondong-bondong mengajukan pembiayaan dengan skema mudharabah. Dalam waktu singkat pertumbuhan perbankan syariah akan mengungguli perbankan konvensional.
Namun kembali lagi, fakta tidak semanis teori. Perbankan syariah yang ada belum sungguh-sungguh menerapkan fatwa DSN secara utuh. Sehingga pelaku usaha yang mendapatkan pembiayaan modal dari perbankan syariah, masih diwajibkan mengembalikan modal secara utuh, walaupun ia mengalami kerugian usaha. Terlalu banyak cerita dari nasabah mudharabah bank syariah yang mengalami perlakuan ini.
Fatwa Ketiga, Tentang Gadai Emas
Gadai emas merupakan cara investasi yang marak ditawarkan perbankan syariah akhir-akhir ini. Gadai emas mencuat dan diminati banyak orang sejak harga emas terus membumbung tinggi.
Dewan Syariah Nasioanal melalui fatwanya no: 25/DSN-MUI/III/2002 membolehkan praktik ini. Pada fatwa tersebut DSN menyatakan:
“Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun (barang gadai) tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI, Hal. 154)
Sementara dalam fatwa DSN No: 26/DSN-MUI/III/2002 yang secara khusus menjelaskan aturan gadai emas, dinyatakan: “Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.”
Komentar:
Perbankan syariah manakah yang mengindahkan ketentuan ini? Fakta dilapangan membuktikan bahwa perbankan syariah yang ada, telah memungut biaya administrasi pemeliharan dan penyimpanan barang gadai sebesar persentase tertentu dari nilai piutang.
Jika bank syariah bersedia menerapkan fatwa di atas, tentunya dalam menentukan biaya pemeliharaan emas yang digadaikan, bank akan menentukan berdasarkan harga Safe Deposit Box (SDB). Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa ongkos penyimpanan yang dibebankan nasabah TIDAK sesuai dengan biaya riil yang dibutuhkan untuk standar penyimpanan dan penjagaan bank, atau melebihi nilai harga SDB untuk penyimpanan emas.
Untuk membuktikan hal itu, mari kita adakan perbandingan antara fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) MUI dengan praktik yang diterapkan di perbankan syariah. Semoga perbandingan ini menjadi masukan positif bagi semua kalangan yang peduli dengan perkembangan perbankan syariah di negeri kita.
Fatwa Pertama: Tentang Murabahah Kontemporer
Akad Murabahah adalah salah satu produk perbankan syariah yang banyak diminati masyarakat. Karena akad ini menjadi alternatif mudah dan tepat bagi berbagai pembiayaan atau kredit dalam perbankan konvensional yang tentu sarat dengan riba.
Kebanyakan ulama dan juga berbagai lembaga fikih nasional atau internasional, membolehkan akad murabahah kontemporer. Lembaga fikih nasional DSN (Dewan Syariah Nasional) di bawah MUI, juga membolehkan akad murabahah, sebagaimana dituangkan dalam fatwanya no: 04/DSN-MUI/IV/2000. Fatwa DSN ini, menjadi payung dan pedoman bagi perbankan syariah dalam menjalankan akad murabahah. Tapi bagaimana praktik bank syariah terhadap fatwa Murabahah?
DSN pada fatwanya No: 04/DSN-MUI/IV/200, tentang murabahah menyatakan: “Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.” (Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, Hal. 24)
Komentar:
Bank syariah manakah yang benar-benar menerapkan ketentuan ini, sehingga barang yang diperjual-belikan benar-benar telah dibeli oleh bank?
Pada praktiknya, perbankan syariah hanya melakukan akad murabahah bila nasabah telah terlebih dahulu melakukan pembelian dan pembayaran sebagian nilai barang (baca: bayar uang muka).
Adakah bank yang berani menuliskan pada laporan keuangannya bahwa ia pernah memiliki aset dan kemudian menjualnya kembali kepada nasabah? Tentu Anda mengetahui bahwa perbankan di negeri kita, baik yang berlabel syariah atau tidak, hanyalah berperan sebagai badan intermediasi. Artinya, bank hanya berperan dalam pembiayaan, dan bukan membeli barang, untuk kemudian dijual kembali. Karena secara regulasi dan faktanya, bank tidak dibenarkan untuk melakukan praktik perniagaan praktis. Dengan ketentuan ini, bank tidak mungkin bisa membeli yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri. Hasilnya, bank telah melanggar ketentuan DSN MUI di atas.
Fatwa Kedua, Tentang Akad Mudharabah (Bagi Hasil)
Akad mudharabah adalah akad yang oleh para ulama telah disepakati akan kehalalannya. Karena itu, akad ini dianggap sebagai tulang punggung praktik perbankan syariah. DSN-MUI telah menerbitkan fatwa no: 07/DSN-MUI/IV/2000, yang kemudian menjadi pedoman bagi praktik perbankan syariah. Tapi, lagi-lagi praktik bank syariah perlu ditinjau ulang.
Pada fatwa dengan nomor tersebut, DSN menyatakan: “LKS (lembaga Keuangan Syariah) sebagai penyedia dana, menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI, Hal. 43)
Pada ketentuan lainnya, DSN kembali menekankan akan hal ini dengan pernyataan: “Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun, kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI, Hal. 45)
Komentar:
Praktik perbankan syariah di lapangan masih jauh dari apa yang di fatwakan oleh DSN. Andai perbankan syariah benar-benar menerapkan ketentuan ini, niscaya masyarakat berbondong-bondong mengajukan pembiayaan dengan skema mudharabah. Dalam waktu singkat pertumbuhan perbankan syariah akan mengungguli perbankan konvensional.
Namun kembali lagi, fakta tidak semanis teori. Perbankan syariah yang ada belum sungguh-sungguh menerapkan fatwa DSN secara utuh. Sehingga pelaku usaha yang mendapatkan pembiayaan modal dari perbankan syariah, masih diwajibkan mengembalikan modal secara utuh, walaupun ia mengalami kerugian usaha. Terlalu banyak cerita dari nasabah mudharabah bank syariah yang mengalami perlakuan ini.
Fatwa Ketiga, Tentang Gadai Emas
Gadai emas merupakan cara investasi yang marak ditawarkan perbankan syariah akhir-akhir ini. Gadai emas mencuat dan diminati banyak orang sejak harga emas terus membumbung tinggi.
Dewan Syariah Nasioanal melalui fatwanya no: 25/DSN-MUI/III/2002 membolehkan praktik ini. Pada fatwa tersebut DSN menyatakan:
“Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun (barang gadai) tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.” (Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI, Hal. 154)
Sementara dalam fatwa DSN No: 26/DSN-MUI/III/2002 yang secara khusus menjelaskan aturan gadai emas, dinyatakan: “Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.”
Komentar:
Perbankan syariah manakah yang mengindahkan ketentuan ini? Fakta dilapangan membuktikan bahwa perbankan syariah yang ada, telah memungut biaya administrasi pemeliharan dan penyimpanan barang gadai sebesar persentase tertentu dari nilai piutang.
Jika bank syariah bersedia menerapkan fatwa di atas, tentunya dalam menentukan biaya pemeliharaan emas yang digadaikan, bank akan menentukan berdasarkan harga Safe Deposit Box (SDB). Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa ongkos penyimpanan yang dibebankan nasabah TIDAK sesuai dengan biaya riil yang dibutuhkan untuk standar penyimpanan dan penjagaan bank, atau melebihi nilai harga SDB untuk penyimpanan emas.
UU No.21 tahun 2008 tentang perbankan syari'ah
UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2008
TENTANG
PERBANKAN SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa
sejalan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai
terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi,
dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan,
kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip
syariah;
b. bahwa kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah semakin meningkat;
c. bahwa perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional;
d. bahwa
pengaturan mengenai perbankan syariah di dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik sehingga perlu diatur
secara khusus dalam suatu undang-undang tersendiri;
e. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Perbankan
Syariah;
Mengingat:
1. Pasal 20 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
3. Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
4. Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4420);
5. Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4756);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PERBANKAN SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perbankan
Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan
Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan
proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
2. Bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
Simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.
3. Bank
Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Bank
Konvensional adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara
konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank Umum
Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat.
5. Bank Umum Konvensional adalah Bank Konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
6. Bank Perkreditan Rakyat adalah Bank Konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
7. Bank
Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan
Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
8. Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
9. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
10. Unit
Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari
kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk
dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang
berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang
pembantu syariah dan/atau unit syariah.
11. Kantor
Cabang adalah kantor cabang Bank Syariah yang bertanggung jawab kepada
kantor pusat Bank yang bersangkutan dengan alamat tempat usaha yang
jelas sesuai dengan lokasi kantor cabang tersebut melakukan usahanya.
12. Prinsip
Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan
fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam
penetapan fatwa di bidang syariah.
13. Akad
adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain
yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai
dengan Prinsip Syariah.
14. Rahasia
Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai
Nasabah Penyimpan dan Simpananannya serta Nasabah Investor dan
Investasinya.
15. Pihak Terafiliasi adalah:
a. komisaris, direksi atau kuasanya, pejabat, dan karyawan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS;
b. pihak
yang memberikan jasanya kepada Bank Syariah atau UUS, antara lain Dewan
Pengawas Syariah, akuntan publik, penilai, dan konsultan hukum;
dan/atau
c. pihak
yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta memengaruhi
pengelolaan Bank Syariah atau UUS, baik langsung maupun tidak langsung,
antara lain pengendali bank, pemegang saham dan keluarganya, keluarga
komisaris, dan keluarga direksi.
16. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank Syariah dan/atau UUS.
17. Nasabah
Penyimpan adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah
dan/atau UUS dalam bentuk Simpanan berdasarkan Akad antara Bank Syariah
atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan.
18. Nasabah
Investor adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah
dan/atau UUS dalam bentuk Investasi berdasarkan Akad antara Bank Syariah
atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan.
19. Nasabah
Penerima Fasilitas adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas dana atau
yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan Prinsip Syariah.
20. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad wadi’ah atau
Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk
Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
21. Tabungan adalah Simpanan berdasarkan Akad wadi’ah atau Investasi dana berdasarkan Akad mudharabah atau
Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang
penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu
yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro,
dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
22. Deposito adalah Investasi dana berdasarkan Akad mudharabah atau
Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang
penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan Akad
antara Nasabah Penyimpan dan Bank Syariah dan/atau UUS.
23. Giro adalah Simpanan berdasarkan Akad wadi’ah atau
Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang
penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet
giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah
pemindahbukuan.
24. Investasi adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad mudharabah atau
Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk
Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
25. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’;
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
e. transaksi
sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau
UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi
fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu
tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
26. Agunan
adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak
bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah
dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima
Fasilitas.
27. Penitipan
adalah penyimpanan harta berdasarkan Akad antara Bank Umum Syariah atau
UUS dan penitip, dengan ketentuan Bank Umum Syariah atau UUS yang
bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut.
28. Wali Amanat adalah Bank Umum Syariah yang mewakili kepentingan pemegang surat berharga berdasarkan Akad wakalah antara Bank Umum Syariah yang bersangkutan dan pemegang surat berharga tersebut.
29. Penggabungan
adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Bank atau lebih untuk
menggabungkan diri dengan Bank lain yang telah ada yang mengakibatkan
aktiva dan pasiva dari Bank yang menggabungkan diri beralih karena hukum
kepada Bank yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan
hukum Bank yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
30. Peleburan
adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Bank atau lebih untuk
meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Bank baru yang karena hukum
memperoleh aktiva dan pasiva dari Bank yang meleburkan diri dan status
badan hukum Bank yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
31. Pengambilalihan
adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang
perseorangan untuk mengambil alih saham Bank yang mengakibatkan
beralihnya pengendalian atas Bank tersebut.
32. Pemisahan
adalah pemisahan usaha dari satu Bank menjadi dua badan usaha atau
lebih, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN FUNGSI
Pasal 2
Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.
Pasal 3
Perbankan
Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam
rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan
rakyat.
Pasal 4
(1) Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.
(2) Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal,
yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah,
atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola
zakat.
(3) Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).
(4) Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB III
PERIZINAN, BENTUK BADAN HUKUM, ANGGARAN DASAR,
DAN KEPEMILIKAN
Bagian Kesatu
Perizinan
Pasal 5
(1) Setiap
pihak yang akan melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau UUS wajib
terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah atau UUS dari
Bank Indonesia.
(2) Untuk memperoleh izin usaha Bank Syariah harus memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang:
a. susunan organisasi dan kepengurusan;
b. permodalan;
c. kepemilikan;
d. keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan
e. kelayakan usaha.
(3) Persyaratan untuk memperoleh izin usaha UUS diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bank Indonesia.
(4) Bank
Syariah yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib mencantumkan dengan jelas kata “syariah” pada penulisan nama
banknya.
(5) Bank
Umum Konvensional yang telah mendapat izin usaha UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas frase “Unit Usaha
Syariah” setelah nama Bank pada kantor UUS yang bersangkutan.
(6) Bank Konvensional hanya dapat mengubah kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dengan izin Bank Indonesia.
(7) Bank Umum Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Umum Konvensional.
(8) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Perkreditan Rakyat.
(9) Bank
Umum Konvensional yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan
Prinsip Syariah wajib membuka UUS di kantor pusat Bank dengan izin Bank
Indonesia.
Pasal 6
(1) Pembukaan Kantor Cabang Bank Syariah dan UUS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
(2) Pembukaan
Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenisjenis kantor lainnya di luar
negeri oleh Bank Umum Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki
UUS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
(3) Pembukaan
kantor di bawah Kantor Cabang, wajib dilaporkan dan hanya dapat
dilakukan setelah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia.
(4) Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah tidak diizinkan untuk membuka Kantor Cabang,
kantor perwakilan, dan jenis kantor lainnya di luar negeri.
Bagian Kedua
Bentuk Badan Hukum
Pasal 7
Bentuk badan hukum Bank Syariah adalah perseroan terbatas.
Bagian Ketiga
Anggaran Dasar
Pasal 8
Di
dalam anggaran dasar Bank Syariah selain memenuhi persyaratan anggaran
dasar sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
memuat pula ketentuan:
a. pengangkatan anggota direksi dan komisaris harus mendapatkan persetujuan Bank Indonesia;
b. Rapat
Umum Pemegang Saham Bank Syariah harus menetapkan tugas manajemen,
remunerasi komisaris dan direksi, laporan pertanggungjawaban tahunan,
penunjukkan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba, dan hal-hal
lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia.
Bagian Keempat
Pendirian dan Kepemilikan Bank Syariah
Pasal 9
(1) Bank Umum Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia;
b. warga
negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara
asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan; atau
c. pemerintah daerah.
(2) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia;
b. pemerintah daerah; atau
c. dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.
(3) Maksimum kepemilikan Bank Umum Syariah oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
Pasal 10
Ketentuan
lebih lanjut mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar,
serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Pasal 11
Besarnya modal disetor minimum untuk mendirikan Bank Syariah ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia.
Pasal 12
Saham Bank Syariah hanya dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama.
Pasal 13
Bank
Umum Syariah dapat melakukan penawaran umum efek melalui pasar modal
sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
Pasal 14
(1) Warga
negara Indonesia, warga negara asing, badan hukum Indonesia, atau badan
hukum asing dapat memiliki atau membeli saham Bank Umum Syariah secara
langsung atau melalui bursa efek.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 15
Perubahan kepemilikan Bank Syariah wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 14.
Pasal 16
(1) UUS dapat menjadi Bank Umum Syariah tersendiri setelah mendapat izin dari Bank Indonesia.
(2) Izin perubahan UUS menjadi Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Pasal 17
(1) Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Bank Syariah wajib terlebih dahulu mendapat izin dari Bank Indonesia.
(2) Dalam
hal terjadi Penggabungan atau Peleburan Bank Syariah dengan Bank
lainnya, Bank hasil Penggabungan atau Peleburan tersebut wajib menjadi
Bank Syariah.
(3) Ketentuan
mengenai Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Bank Syariah
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IV
JENIS DAN KEGIATAN USAHA, KELAYAKAN PENYALURAN DANA, DAN
LARANGAN BAGI BANK SYARIAH DAN UUS
Bagian Kesatu
Jenis dan Kegiatan Usaha
Pasal 18
Bank Syariah terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Pasal 19
(1) Kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi:
a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menghimpun
dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
f. menyalurkan
Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah
berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
i. membeli,
menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga
yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah,
antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
k. menerima
pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan
dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;
l. melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu Akad yang berdasarkan Prinsip Syariah;
m. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;
n. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;
o. melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah;
p. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan
q. melakukan
kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang
sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kegiatan usaha UUS meliputi:
a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menghimpun
dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
f. menyalurkan
Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah
berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
i. membeli
dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar
transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad
ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
k. menerima
pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan
dengan pihak ketiga atau antar pihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;
l. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;
m. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;
n. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan
o. melakukan
kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang
sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 20
(1) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), Bank Umum Syariah dapat pula:
a. melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah;
b. melakukan
kegiatan penyertaan modal pada Bank Umum Syariah atau lembaga keuangan
yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah;
c. melakukan
kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan
Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik
kembali penyertaannya;
d. bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun berdasarkan Prinsip Syariah;
e. melakukan
kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar
modal;
f. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik;
g. menerbitkan,
menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek
berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung
melalui pasar uang;
h. menerbitkan,
menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang
berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung
melalui pasar modal; dan
i. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah.
(2) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), UUS dapat pula:
a. melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah;
b. melakukan
kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar
modal;
c. melakukan
kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan
Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik
kembali penyertaannya;
d. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik;
e. menerbitkan,
menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek
berdasarkan Prinsip Syariah baik secara langsung maupun tidak langsung
melalui pasar uang; dan
f. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah.
(3) Kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memenuhi
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 21
Kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah meliputi:
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk:
1. Simpanan berupa Tabungan atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; dan
2. Investasi berupa Deposito atau Tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk:
1. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah atau musyarakah;
2. Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, salam, atau istishna’;
3. Pembiayaan berdasarkan Akad qardh;
4. Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; dan
5. pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah;
c. menempatkan dana pada Bank Syariah lain dalam bentuk titipan berdasarkan Akad wadi’ah atau Investasi berdasarkan Akad mudharabah dan/atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. memindahkan
uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah
melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum
Syariah, Bank Umum Konvensional, dan UUS; dan
e. menyediakan
produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syariah lainnya yang sesuai
dengan Prinsip Syariah berdasarkan persetujuan Bank Indonesia.
Pasal 22
Setiap
pihak dilarang melakukan kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk
Simpanan atau Investasi berdasarkan Prinsip Syariah tanpa izin terlebih
dahulu dari Bank Indonesia, kecuali diatur dalam undang-undang lain.
Bagian Kedua
Kelayakan Penyaluran Dana
Pasal 23
(1) Bank
Syariah dan/atau UUS harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan
kemampuan calon Nasabah Penerima Fasilitas untuk melunasi seluruh
kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan/atau UUS menyalurkan
dana kepada Nasabah Penerima Fasilitas.
(2) Untuk
memperoleh keyakinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Syariah
dan/atau UUS wajib melakukan penilaian yang saksama terhadap watak,
kemampuan, modal, Agunan, dan prospek usaha dari calon Nasabah Penerima
Fasilitas.
Bagian Ketiga
Larangan Bagi Bank Syariah dan UUS
Pasal 24
(1) Bank Umum Syariah dilarang:
a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar modal;
c. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b dan huruf c; dan
d. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah.
(2) UUS dilarang:
a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar modal;
c. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf c; dan
d. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah.
Pasal 25
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dilarang:
a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menerima Simpanan berupa Giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran;
c. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali penukaran uang asing dengan izin Bank Indonesia;
d. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah;
e. melakukan
penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang dibentuk untuk
menanggulangi kesulitan likuiditas Bank Pembiayaan Rakyat Syariah; dan
f. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Pasal 26
(1) Kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21
dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada Prinsip Syariah.
(2) Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia.
(3) Fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia.
(4) Dalam
rangka penyusunan Peraturan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), Bank Indonesia membentuk komite perbankan syariah.
(5) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, keanggotaan, dan tugas
komite perbankan syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur
dengan Peraturan Bank Indonesia.
BAB V
PEMEGANG SAHAM PENGENDALI, DEWAN KOMISARIS,
DEWAN PENGAWAS SYARIAH, DIREKSI,
DAN TENAGA KERJA ASING
Bagian Kesatu
Pemegang Saham Pengendali
Pasal 27
(1) Calon pemegang saham pengendali Bank Syariah wajib lulus uji kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
(2) Pemegang
saham pengendali yang tidak lulus uji kemampuan dan kepatutan wajib
menurunkan kepemilikan sahamnya menjadi paling banyak 10% (sepuluh
persen).
(3) Dalam hal pemegang saham pengendali tidak menurunkan kepemilikan sahamnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka:
a. hak suara pemegang saham pengendali tidak diperhitungkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham;
b. hak suara pemegang saham pengendali tidak diperhitungkan sebagai penghitungan kuorum atau tidaknya Rapat Umum Pemegang Saham;
c. deviden
yang dapat dibayarkan kepada pemegang saham pengendali paling banyak
10% (sepuluh persen) dan sisanya dibayarkan setelah pemegang saham
pengendali tersebut mengalihkan kepemilikannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1); dan
d. nama
pemegang saham pengendali yang bersangkutan diumumkan kepada publik
melalui 2 (dua) media massa yang mempunyai peredaran luas.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kemampuan dan kepatutan diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Dewan Komisaris dan Direksi
Pasal 28
Ketentuan
mengenai syarat, jumlah, tugas, kewenangan, tanggung jawab, serta hal
lain yang menyangkut dewan komisaris dan direksi Bank Syariah diatur
dalam anggaran dasar Bank Syariah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
Pasal 29
(1) Dalam
jajaran direksi Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 wajib
terdapat 1 (satu) orang direktur yang bertugas untuk memastikan
kepatuhan Bank Syariah terhadap pelaksanaan ketentuan Bank Indonesia dan
peraturan perundang-undangan lainnya.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tugas untuk memastikan kepatuhan Bank Syariah
terhadap pelaksanaan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan
perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Bank Indonesia.
Pasal 30
(1) Calon dewan komisaris dan calon direksi wajib lulus uji kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
(2) Uji
kemampuan dan kepatutan terhadap komisaris dan direksi yang melanggar
integritas dan tidak memenuhi kompetensi dilakukan oleh Bank Indonesia.
(3) Komisaris dan direksi yang tidak lulus uji kemampuan dan kepatutan wajib melepaskan jabatannya.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Pasal 31
(1) Dalam menjalankan kegiatan Bank Syariah, direksi dapat mengangkat pejabat eksekutif.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pengangkatan pejabat eksekutif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Dewan Pengawas Syariah
Pasal 32
(1) Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS.
(2) Dewan
Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Rapat
Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.
(3) Dewan
Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan
nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar
sesuai dengan Prinsip Syariah.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pembentukan Dewan Pengawas Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Bagian Keempat
Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Pasal 33
(1) Dalam menjalankan kegiatannya, Bank Syariah dapat menggunakan tenaga kerja asing.
(2) Tata
cara penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VI
TATA KELOLA, PRINSIP KEHATI-HATIAN,
DAN PENGELOLAAN RISIKO PERBANKAN SYARIAH
Bagian Kesatu
Tata Kelola Perbankan Syariah
Pasal 34
(1) Bank
Syariah dan UUS wajib menerapkan tata kelola yang baik yang mencakup
prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional,
dan kewajaran dalam menjalankan kegiatan usahanya.
(2) Bank Syariah dan UUS wajib menyusun prosedur internal mengenai pelaksanaan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Prinsip Kehati-hatian
Pasal 35
(1) Bank Syariah dan UUS dalam melakukan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian.
(2) Bank
Syariah dan UUS wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan
keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan laba rugi tahunan serta
penjelasannya yang disusun berdasarkan prinsip akuntansi syariah yang
berlaku umum, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang
diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
(3) Neraca
dan perhitungan laba rugi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib terlebih dahulu diaudit oleh kantor akuntan publik.
(4) Bank
Indonesia dapat menetapkan pengecualian terhadap kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
(5) Bank
Syariah wajib mengumumkan neraca dan laporan laba rugi kepada publik
dalam waktu dan bentuk yang ditentukan oleh Bank Indonesia.
Pasal 36
Dalam
menyalurkan Pembiayaan dan melakukan kegiatan usaha lainnya, Bank
Syariah dan UUS wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank
Syariah dan/atau UUS dan kepentingan Nasabah yang mempercayakan dananya.
Pasal 37
(1) Bank
Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana
berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi
surat berharga yang berbasis syariah, atau hal lain yang serupa, yang
dapat dilakukan oleh Bank Syariah dan UUS kepada Nasabah Penerima
Fasilitas atau sekelompok Nasabah Penerima Fasilitas yang terkait,
termasuk kepada perusahaan dalam kelompok yang sama dengan Bank Syariah
dan UUS yang bersangkutan.
(2) Batas
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi 30%
(tiga puluh persen) dari modal Bank Syariah sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Bank
Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana
berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi
surat berharga, atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh Bank
Syariah kepada:
a. pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh persen) atau lebih dari modal disetor Bank Syariah;
b. anggota dewan komisaris;
c. anggota direksi;
d. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;
e. pejabat bank lainnya; dan
f. perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e.
(4) Batas
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh melebihi 20%
(dua puluh persen) dari modal Bank Syariah sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(5) Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) wajib
dilaporkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Kewajiban Pengelolaan Risiko
Pasal 38
(1) Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan manajemen risiko, prinsip mengenal nasabah, dan perlindungan nasabah.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Pasal 39
Bank
Syariah dan UUS wajib menjelaskan kepada Nasabah mengenai kemungkinan
timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi Nasabah yang
dilakukan melalui Bank Syariah dan/atau UUS.
Pasal 40
(1) Dalam
hal Nasabah Penerima Fasilitas tidak memenuhi kewajibannya, Bank
Syariah dan UUS dapat membeli sebagian atau seluruh Agunan, baik melalui
maupun di luar pelelangan, berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh
pemilik Agunan atau berdasarkan pemberian kuasa untuk menjual dari
pemilik Agunan, dengan ketentuan Agunan yang dibeli tersebut wajib
dicairkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.
(2) Bank
Syariah dan UUS harus memperhitungkan harga pembelian Agunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kewajiban Nasabah kepada Bank
Syariah dan UUS yang bersangkutan.
(3) Dalam
hal harga pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi
jumlah kewajiban Nasabah kepada Bank Syariah dan UUS, selisih kelebihan
jumlah tersebut harus dikembalikan kepada Nasabah setelah dikurangi
dengan biaya lelang dan biaya lain yang langsung terkait dengan proses
pembelian Agunan.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
BAB VII
RAHASIA BANK
Bagian Kesatu
Cakupan Rahasia Bank
Pasal 41
Bank
dan Pihak Terafiliasi wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah
Penyimpan dan Simpanannya serta Nasabah Investor dan Investasinya.
Bagian Kedua
Pengecualian Rahasia Bank
Pasal 42
(1) Untuk
kepentingan penyidikan pidana perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas
permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis
kepada Bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis
serta surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan atau Nasabah
Investor tertentu kepada pejabat pajak.
(2) Perintah
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyebutkan nama
pejabat pajak, nama nasabah wajib pajak, dan kasus yang dikehendaki
keterangannya.
Pasal 43
(1) Untuk
kepentingan peradilan dalam perkara pidana, pimpinan Bank Indonesia
dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, hakim, atau penyidik lain
yang diberi wewenang berdasarkan undang-undang untuk memperoleh
keterangan dari Bank mengenai Simpanan atau Investasi tersangka atau
terdakwa pada Bank.
(2) Izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara tertulis atas
permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung, atau pimpinan instansi yang diberi
wewenang untuk melakukan penyidikan.
(3) Permintaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan
penyidik, jaksa, atau hakim, nama tersangka atau terdakwa, alasan
diperlukannya keterangan, dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan
dengan keterangan yang diperlukan.
Pasal 44
Bank wajib memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43.
Pasal 45
Dalam
perkara perdata antara Bank dan Nasabahnya, direksi Bank yang
bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan
keuangan Nasabah yang
bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut.
Pasal 46
(1) Dalam rangka tukar-menukar informasi antarbank, direksi Bank dapat memberitahukan keadaan keuangan Nasabahnya kepada Bank lain.
(2) Ketentuan mengenai tukar-menukar informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
Pasal 47
Atas
permintaan, persetujuan, atau kuasa dari Nasabah Penyimpan atau Nasabah
Investor yang dibuat secara tertulis, Bank wajib memberikan keterangan
mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor pada Bank yang
bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan atau
Nasabah Investor tersebut.
Pasal 48
Dalam
hal Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor telah meninggal dunia, ahli
waris yang sah dari Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor yang
bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai Simpanan Nasabah
Penyimpan atau Nasabah Investor tersebut.
Pasal 49
Pihak
yang merasa dirugikan oleh keterangan yang diberikan oleh Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal 45, dan Pasal 46,
berhak untuk mengetahui isi keterangan tersebut dan meminta pembetulan
jika terdapat kesalahan dalam keterangan yang diberikan.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 50
Pembinaan dan pengawasan Bank Syariah dan UUS dilakukan oleh Bank Indonesia.
Pasal 51
(1) Bank
Syariah dan UUS wajib memelihara tingkat kesehatan yang meliputi
sekurang-kurangnya mengenai kecukupan modal, kualitas aset, likuiditas,
rentabilitas, solvabilitas, kualitas manajemen yang menggambarkan
kapabilitas dalam aspek keuangan, kepatuhan terhadap Prinsip Syariah dan
prinsip manajemen Islami, serta aspek lainnya yang berhubungan dengan
usaha Bank Syariah dan UUS.
(2) Kriteria
tingkat kesehatan dan ketentuan yang wajib dipenuhi oleh Bank Syariah
dan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank
Indonesia.
Pasal 52
(1) Bank
Syariah dan UUS wajib menyampaikan segala keterangan dan penjelasan
mengenai usahanya kepada Bank Indonesia menurut tata cara yang
ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia.
(2) Bank
Syariah dan UUS, atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan
kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada
padanya, serta wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka
memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen, dan penjelasan
yang dilaporkan oleh Bank Syariah dan UUS yang bersangkutan.
(3) Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia berwenang:
a. memeriksa dan mengambil data/dokumen dari setiap tempat yang terkait dengan Bank;
b. memeriksa
dan mengambil data/dokumen dan keterangan dari setiap pihak yang
menurut penilaian Bank Indonesia memiliki pengaruh terhadap Bank; dan
c. memerintahkan Bank melakukan pemblokiran rekening tertentu, baik rekening Simpanan maupun rekening Pembiayaan.
(4) Keterangan
dan laporan pemeriksaan tentang Bank Syariah dan UUS yang diperoleh
berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) tidak diumumkan dan bersifat rahasia.
Pasal 53
(1) Bank
Indonesia dapat menugasi kantor akuntan publik atau pihak lainnya untuk
dan atas nama Bank Indonesia, melaksanakan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2).
(2) Persyaratan dan tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Pasal 54
(1) Dalam
hal Bank Syariah mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya, Bank Indonesia berwenang melakukan tindakan dalam rangka
tindak lanjut pengawasan antara lain:
a. membatasi kewenangan Rapat Umum Pemegang Saham, komisaris, direksi, dan pemegang saham;
b. meminta pemegang saham menambah modal;
c. meminta pemegang saham mengganti anggota dewan komisaris dan/atau direksi Bank Syariah;
d. meminta Bank Syariah menghapusbukukan penyaluran dana yang macet dan memperhitungkan kerugian Bank Syariah dengan modalnya;
e. meminta Bank Syariah melakukan penggabungan atau peleburan dengan Bank Syariah lain;
f. meminta Bank Syariah dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajibannya;
g. meminta Bank Syariah menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank Syariah kepada pihak lain; dan/atau
h. meminta Bank Syariah menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban Bank Syariah kepada pihak lain.
(2) Apabila
tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum cukup untuk mengatasi
kesulitan yang dialami Bank Syariah, Bank Indonesia menyatakan Bank
Syariah tidak dapat disehatkan dan menyerahkan penanganannya ke Lembaga
Penjamin Simpanan untuk diselamatkan atau tidak diselamatkan.
(3) Dalam
hal Lembaga Penjamin Simpanan menyatakan Bank Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak diselamatkan, Bank Indonesia atas
permintaan Lembaga Penjamin Simpanan mencabut izin usaha Bank Syariah
dan penanganan lebih lanjut dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(4) Atas
permintaan Bank Syariah, Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha Bank
Syariah setelah Bank Syariah dimaksud menyelesaikan seluruh
kewajibannya.
(5) Ketentuan
lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencabutan izin usaha
Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan
Bank Indonesia.
BAB IX
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 55
(1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
(2) Dalam
hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai dengan isi Akad.
(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.
BAB X
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 56
Bank
Indonesia menetapkan sanksi administratif kepada Bank Syariah atau UUS,
anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, direksi,
dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki
UUS, yang menghalangi dan/atau tidak melaksanakan Prinsip Syariah dalam
menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak memenuhi kewajibannya
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 57
(1) Bank
Indonesia mengenakan sanksi administratif kepada Bank Syariah atau UUS,
anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, direksi,
dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki
UUS yang melanggar Pasal 41 dan Pasal 44.
(2) Pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mengurangi ketentuan pidana sebagai akibat dari pelanggaran kerahasiaan
bank.
Pasal 58
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang ini adalah:
a. denda uang;
b. teguran tertulis;
c. penurunan tingkat kesehatan Bank Syariah dan UUS;
d. pelarangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
e. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk Bank Syariah dan UUS secara keseluruhan;
f. pemberhentian
pengurus Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, dan
selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat
Umum Pemegang Saham mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan
Bank Indonesia;
g. pencantuman
anggota pengurus, pegawai, dan pemegang saham Bank Syariah dan Bank
Umum Konvensional yang memiliki UUS dalam daftar orang tercela di bidang
perbankan; dan/atau
h. pencabutan izin usaha.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 59
(1) Setiap
orang yang melakukan kegiatan usaha Bank Syariah, UUS, atau kegiatan
penghimpunan dana dalam bentuk Simpanan atau Investasi berdasarkan
Prinsip Syariah tanpa izin usaha dari Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 22 dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar
rupiah).
(2) Dalam
hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan
hukum, penuntutan terhadap badan hukum dimaksud dilakukan terhadap
mereka yang memberi perintah untuk melakukan perbuatan itu dan/atau yang
bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu.
Pasal 60
(1) Setiap
orang yang dengan sengaja tanpa membawa perintah tertulis atau izin
dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43
memaksa Bank Syariah, UUS, atau pihak terafiliasi untuk memberikan
keterangan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun
dan paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
(2) Anggota
direksi, komisaris, pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional
yang memiliki UUS, atau Pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja
memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun
dan paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak
Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Pasal 61
Anggota
dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum
Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja tidak memberikan
keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44,
Pasal 47, dan Pasal 48 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 62
(1) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:
a. tidak menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2); dan/atau
b. tidak
memberikan keterangan atau tidak melaksanakan perintah yang wajib
dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang lalai:
a. tidak menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2); dan/atau
b. tidak
memberikan keterangan atau tidak melaksanakan perintah yang wajib
dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dipidana dengan pidana
kurungan paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 63
(1) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:
a. membuat
atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam
laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi
atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS;
b. menghilangkan
atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan
dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha,
dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS;
dan/atau
c. mengubah,
mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu
pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan
kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank
Syariah atau UUS, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan,
menghilangkan, menyembunyikan, atau merusak catatan pembukuan tersebut
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
(2) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:
a. meminta
atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu
imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang, atau barang berharga
untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam
rangka:
1. mendapatkan
atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka,
bank garansi, atau fasilitas penyaluran dana dari Bank Syariah atau UUS;
2. melakukan
pembelian oleh Bank Syariah atau UUS atas surat wesel, surat promes,
cek dan kertas dagang, atau bukti kewajiban lainnya;
3. memberikan
persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang
melebihi batas penyaluran dananya pada Bank Syariah atau UUS; dan/atau
b. tidak
melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan
Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 64
Pihak
Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang
diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau Bank Umum
Konvensional yang memiliki UUS terhadap ketentuan dalam Undang-Undang
ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 65
Pemegang
saham yang dengan sengaja menyuruh anggota dewan komisaris, direksi,
atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS
untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan Bank
Syariah atau UUS tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan
untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan dalam
Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7
(tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling
banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Pasal 66
(1) Anggota direksi atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:
a. melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan perbuatan
tersebut telah mengakibatkan kerugian bagi Bank Syariah atau UUS atau
menyebabkan keadaan keuangan Bank Syariah atau UUS tidak sehat;
b. menghalangi
pemeriksaan atau tidak membantu pemeriksaan yang dilakukan oleh dewan
komisaris atau kantor akuntan publik yang ditugasi oleh dewan komisaris;
c. memberikan
penyaluran dana atau fasilitas penjaminan dengan melanggar ketentuan
yang berlaku yang diwajibkan pada Bank Syariah atau UUS, yang
mengakibatkan kerugian sehingga membahayakan kelangsungan usaha Bank
Syariah atau UUS; dan/atau
d. tidak
melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan
Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan Batas Maksimum Pemberian
Penyaluran Dana sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau
ketentuan yang berlaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Anggota
direksi dan pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang
memiliki UUS yang dengan sengaja melakukan penyalahgunaan dana Nasabah,
Bank Syariah atau UUS dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 67
(1) Bank
Syariah atau UUS yang telah memiliki izin usaha pada saat Undang-Undang
ini mulai berlaku dinyatakan telah memperoleh izin usaha berdasarkan
Undang-Undang ini.
(2) Bank
Syariah atau UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyesuaikan
dengan ketentuan dalam Undang- Undang ini paling lama 1 (satu) tahun
sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini.
Pasal 68
(1) Dalam
hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS yang nilai asetnya telah
mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai aset
bank induknya atau 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya Undang-Undang
ini, maka Bank Umum Konvensional dimaksud wajib melakukan Pemisahan UUS
tersebut menjadi Bank Umum Syariah.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai Pemisahan dan sanksi bagi Bank Umum Konvensional
yang tidak melakukan Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Bank Indonesia.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 69
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, segala ketentuan mengenai
Perbankan Syariah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790) beserta peraturan pelaksanaannya
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-Undang ini.
Pasal 70
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 16 Juli 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Juli 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 94
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Perekonomian dan Industri,
Setio Sapto Nugroho
Langganan:
Postingan (Atom)